|  | 
| SHUTTERSTOCK | 
Banyak di antara kita hidup sebagai sosok yang terbelenggu untuk  selalu mengatakan ”ya”, padahal dalam hati kita sebenarnya ingin sekali  mengatakan ”tidak”, baik untuk kepentingan diri kita sendiri maupun  untuk kepentingan orang yang cenderung bergantung pada kita. Apalagi,  kita berpikir bahwa ketergantungan pada kita, justru membuat orang  tertentu tidak mandiri, tidak berkembang karena selalu kita berikan  pertolongan padanya dan dengan mudah pula, dirinya mengulang dan  mengulang minta tolong pada kita.
 ”Ibu, saya adalah kakak  dari seorang adik laki-laki (H) yang sudah berumur 36 tahun, kami dua  bersaudara dan kedua orangtua kami sudah sekitar 7 tahun yang lalu  meninggal dunia selang beberapa bulan. Saat orangtua meninggal dunia, H  sudah sarjana dan saya sendiri juga sudah berkeluarga dengan 2 anak. H  sebenarnya cukup sukses dalam karier, saya rasa gajinya bahkan berlebih  untuk hidupnya sendiri, tapi H belum bermaksud berumah tangga, H tinggal  di kota J dan menyewa satu paviliun di daerah elite di J.
  Tadinya, H hidup mandiri bahkan saat kedua orangtua saya masih hidup, H  sanggup mengirim uang setiap bulan untuk menunjang kehidupan orangtua.  Memang saat orangtua hanya berselang beberapa bulan meninggal dunia  karena penyakit yang mereka derita, H tampak terpukul, hingga beberapa  bulan terserang depresi, seolah gairah hidupnya sirna.
  Syukurlah dengan berobat kepada seorang psikiater di J, akhirnya H pulih  kembali dan bekerja seperti biasa. Namun apa yang terjadi, H menjadi  seorang pengeluh, kalau mengeluh sampai hampir setengah jam menelepon  saya. Tadinya karena saya kasihan, selalu saya tanggapi dan dengarkan  sambil memberinya nasihat-nasihat agar H tidak sedih, seberapa lama pun H  menelepon. Namun, lama-kelamaan setiap telepon, ujungnya selalu meminta  saya meminjamkan uang untuk satu kegiatan. Kalau saya tanya untuk apa, H  tidak mau menjelaskan secara rinci.
 Saya tidak berani  menolak keinginannya karena saya takut H terserang depresi lagi. Saya  perhatikan jeda waktu menelepon dengan keluhan bertubi, baik dari kantor  tempatnya bekerja maupun dari kehidupan kesehariannya semakin singkat,  bahkan dalam beberapa kali terakhir ini, setiap sekitar 15 hari, H  menelepon, mengeluh dan minta dikirimi uang, dengan janji akan  dikembalikan beberapa minggu lagi. Namun, hingga saat ini H belum pernah  mengembalikan uang saya.
 Sementara saya sendiri masih  banyak kebutuhan karena kedua anak saya sudah menjelang remaja. Dalam  masalah H ini, memang saya tidak terbuka pada suami karena saya juga  bekerja dan saya tidak mengganggu uang suami. Bu, apa yang harus saya  lakukan, saya jenuh dan kesal, tapi tidak tahu apa yang harus saya  lakukan untuk mengatasi perilaku H ini. ”
 K (40 tahun) Belajar untuk tidak selalu berperan sebagai penolong
  Dari analisa persoalan yang dihadapi K, kita belajar bahwa tampaknya K  khawatir hubungan dengan adiknya rusak bila dirinya tidak menanggapi  keluhan H. Namun, saat ini justru K merasa pertolongan yang diberikan  pada H menjadi sangat berlebihan sehingga membuat H akhirnya menjadi  sangat manipulatif memanfaatkan kebaikannya.
 Memang, menjaga  relasi tetap baik dengan siapa pun tidak mudah, namun bila jenis relasi  yang terbina justru membelenggunya, berarti K harus melakukan sesuatu.  Untuk itu, K harus menutup pola relasi yang selama ini telah terbina  dengan H, dengan cara menghentikan pertolongan berlanjut. Apa yang harus  dikatakan saat H meneleponnya adalah:
 ”Saya tahu saat ini saya  tidak bisa menolong kamu lagi, saya hanya ingin tahu apa yang saat ini  kamu kerjakan dan membuat dirimu tahu bahwa saya memberikan perhatian  padamu.”
 Tentu saja perubahan pola relasi secara tiba-tiba akan  mengganggu perasaan keduanya, tetapi kondisi ini harus diupayakan. K  juga harus mengatakan bahwa dia terlampau sibuk untuk berlama-lama  menanggapi keluhan H di telepon. Agar perubahan pola relasi tidak  memberikan pengaruh yang buruk, hendaknya K pun mengajak H mengunjungi  rumahnya di kota T, dengan mengatakan:
 ”Datanglah minggu depan, kita makan bersama keluargaku, kamu bisa ketemu dan bercanda dengan keponakan-keponakanmu, ya.”
  Dengan ajakan ini, K menanamkan pengertian bahwa perubahan pola relasi  tidak berarti memutuskan hubungan silaturahim dengan keluarga. Memang  sulit juga menjalin pola relasi baru dalam situasi ini, tetapi K harus  menguatkan hatinya. Untuk kemudian di saat yang tepat, menyatakan bahwa,  ”Terus terang saya sendiri saat ini banyak keperluan, sehingga tidak  mungkin lagi meminjamkan uang padamu.”
 Melalui kalimat ini, K  mengomunikasikan bahwa persoalan dalam hidup tidak hanya dihadapi oleh H  seorang. Bahwa setiap orang memang harus mencoba mengatasi persoalan  dalam kehidupannya.
 Reaksi kontra
 Pasti  ada reaksi kontra, baik dari diri K maupun H. K akan merasa dirinya  sebagai sosok kakak yang tidak bertanggung jawab terhadap adiknya dan H  akan berupaya merengek dengan mengatakan bahwa tega betul kakaknya,  tidak mau membayarkan sewa paviliun, ”aku akan tinggal di mana, kalau  terusir dari kontrakan ini karena belum terbayar?” dan sebagainya, dan  sebagainya.
 Situasi ini akan membuat seseorang masuk dalam  situasi dilematis, yang sangat berat, dalam hal ini, terutama bagi K.  Apakah akan menolong kembali adiknya, membayarkan uang kontrakan bagi  adiknya, yang otomatis akan membuat mereka kembali pada pola relasi lama  (K menolong H dan H selalu mendapat pertolongan dari K).
 Bila  sampai pada situasi ini, tentu saja, K harus menguatkan diri dengan  terus-menerus hanya memberikan dukungan emosional serta kontak berlanjut  pada H. Sampai akhirnya, baik K maupun H menyadari akan kenyataan  ungkapan sebagai berikut, ”Siapa yang bertanggung jawab terhadap apa”.
Sumber: Kompas 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar