Bekerja atau Berkarya?

Shutterstock

Bekerja atau Berkarya? | Saat diminta bantuan untuk lembur, beberapa karyawan di suatu bagian secara spontan nyeletuk: “Yah.., tergantung imbalannya." Mendengar hal ini, atasan pun berkomentar agar orang yang menolak lembur mengundurkan diri saja karena melihat mereka sungguh-sungguh tidak memikirkan kepentingan perusahaan dan hanya memikirkan kepentingan diri pribadi.

Meskipun loyalitas pada perusahaan oleh beberapa pihak dianggap sudah kuno, hitung-hitungan pekerjaan tentu sudah lebih ketinggalan zaman lagi. Bila kontribusi yang bersedia kita berikan selalu kita hitung dengan apa yang diberikan perusahaan, bukankah kita sendiri yang rugi karena tidak bisa secara utuh menghasilkan karya terbaik kita? Apakah kita bisa happy

Seorang teman yang dikenal sukses dalam menerapkan perbaikan sistem dan pencapaian target baru menyadari bahwa sudah tiga tahun terakhir semua usulan perbaikannya tidak mendapat persetujuan. Ia pun jadi kehilangan tujuan dalam pekerjaannya dan mulai mempertanyakan makna bekerjanya. Di satu sisi, ia tahu bahwa ia sudah memiliki posisi baik dan gaji yang lumayan sehingga tidak mudah hengkang begitu saja ke tempat lain. Gairahnya untuk memahami manajemen dan menyamakan derap sudah hilang. “Saya kerja semata untuk hidup”, begitu komentarnya.
bila bekerja dengan separuh hati saja? Bayangkan juga apa jadinya bila para prajurit tidak sepenuh hati membela negara karena hitung-hitungan dengan imbalan yang diterima dari negara.    

Kita lihat hilangnya gairah bekerja bisa terjadi di level mana pun, mulai dari pelaksana sampai manajerial. Pertanyaan bagi perusahaan, bisakah kita mengandalkan karyawan yang hanya datang bekerja dengan mental dan sikap kerja tanpa gairah seperti ini? Pertanyaan bagi individunya, apakah kita ingin meneruskan hidup tanpa gairah seperti ini?

Ciptakan dan rasakan magis
Pencipta logo "I (heart) NY", Milton Glaser, pernah mengatakan bahwa bekerja hanya benar-benar disebut kerja bila kita bisa berada di tingkat yang lebih tinggi daripada tujuan obyektifnya. Seorang manajer HRD berkata: “Saya ingin zero absenteeism." Berbagai upaya ia lakukan untuk mencapai targetnya tersebut, mulai dari sosialisasi peraturan juga melakukan pendekatan persuasi. Ia sama sekali tidak tergantung atasan maupun manajemen perusahaan karena sudah menjadikan sasaran tugas sebagai obsesi pribadinya. Dengan rasa seperti itu, ia merasa bahwa dialah yang menjadi majikan bagi dirinya sendiri. Pekerjaan akan dirasakan sebagai karyanya, bukan sekadar tugas. Kita lihat bahwa bila kita meletakkan kerja lebih tinggi dari tujuan obyektifnya, kita bisa memiliki spirit, energi, dan merasakan hal-hal misterius dan magis dari tugas tersebut.

Sebetulnya terkadang kita tidak bisa secara kasatmata membedakan seorang frontliner yang bekerja dengan passion sampai tingkat “artistik” dengan temannya yang sekadar melaksanakan pekerjaan dengan sungguh-sungguh. Namun, kita bisa melihat dampak dari hasil kerjanya berbeda. Individunya sendiri pun akan merasakan gairah yang berbeda karena penemuan misteri, solusi, dan tantangan selalu ada dalam tugasnya. Ini membuat pekerjaan menjadi hidup dan eksperimental.

Bagaimana dengan pegawai negeri yang terkenal cenderung digaji lebih kecil dari pegawai swasta? Kita lihat seorang petugas pembuat paspor sekalipun ada yang begitu terampil menguasai pekerjaannya dan begitu menikmati pekerjaannya, seolah tidak peduli pada imbalan yang ia terima. Individu seperti ini sudah mengintegrasikan emosi dan passion dengan tugasnya. Sasaran kerjanya sangat personal dan bergereget. Kita lihat, apa pun pekerjaan dan jabatan kita, kita bisa menyusun standar pribadi yang bahkan lebih tinggi dari tuntutan jabatan atau perusahaan. Inilah yang bisa membuat kita merasakan magis dan bekerja dengan tingkatan yang lebih tinggi.

Gaya kerja relawan
Suatu kali, saya mendapat kandidat yang istimewa. Saat wawancara, ia bertanya, apakah ia boleh memberi usulan perbaikan dan berpartisipasi dalam acara brainstorming di perusahaan? Ia juga menggali apakah kalau ada kesempatan ia diperbolehkan menentukan prioritasnya sendiri dan sasaran-sasaran kecil sejalan dengan sasaran yang ditetapkan perusahaan. Alangkah mudahnya perusahaan berkembang bila memiliki kualitas karyawan yang memilih cara untuk mencapai kepuasan kerjanya dengan rasa berkarya seperti ini. Guru manajemen, Peter Drucker, pun mengatakan, kita perlu memilih karyawan yang bersikap seperti relawan, mempunyai misi pribadi yang jelas, serta bisa memberikan alasan yang kuat mengapa mereka bergabung di organisasi. Karyawan mesti mengenal dan menyukai game-nya!

Kita bisa belajar dari Google yang senantiasa mengupayakan rasa bekerja di perusahaan kecil pada karyawannya sehingga apa pun upaya yang dilakukan karyawan terdeteksi dan diapresiasi agar  karyawan tetap kreatif dan berusaha untuk berkarya terus. Pekerjaan tidak lagi kaku dan berkesan formal, namun lebih kental bergaya mahasiswa atau relawan. Dengan gaya kerja seperti ini, hubungan satu sama lain juga seperti hubungan dengan teman main. “Work and play” sudah tidak terpisahkan lagi. Bukannya tidak ada persaingan, tetapi persaingan lebih banyak pada keinginan untuk melebihi teman kerja dalam keunggulan karya dan buah pikiran masing-masing.

Hal yang sering dilupakan pemberi kerja adalah bahwa setiap individu mempunyai potensi untuk menjadi idealis. Dengan memberi kesempatan agar para karyawan berkarya sesuai dengan hal-hal yang dia anggap benar, mereka akan tumbuh lebih percaya diri dan berani mengembangkan idealisme profesinya. Tanpa perlu mengadakan quality control secara sengaja dan terpisah, semua karyawan sudah memperbaiki, bahkan bersikap kritis terhadap kualitas kerja. “Being a part of something that matters and working on products in which you can believe is remarkably fulfilling. Life is beautiful.” Ini komentar CEO Google.

Sumber: Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar